Sabtu, 24 Juni 2017

TERPEJAM YANG BELUM SELESAI

Menurut pengakuan sang koreografer, Megatruh, karya Terpejam merupakan pembacaan atas ramalan/jangka Jayabaya terhadap masa sekarang. Pembacaan tersebut dirangkum dalam kejadian-kejadian sekitar 25 menit. Konten-konten yang disuguhkan cukup beragam, terutama beberapa isu politik yang cukup mengguncang dunia. Hal ini mudah tertangkap karena tidak semua bagian dalam pertunjukan ini berbentuk komposisi koreografik, ada juga beberapa bagian yang bentuknya lebih teatrikal dan lebih mudah dijadikan penanda suatu peristiwa atau kejadian, termasuk music. Music yang dikolaborasikan dalam tarian ini memang sudah mengandung clue atas keseluruhan suguhan, misalnya potongan-potongan berita tentang Pemilu Indonesia, juga soal pemilihan presiden di Amerika, dan lain sebagainya.

Foto: Kinanthi Saputra
Memang pembacaan Megatruh terkait tema ini sudah cukup jeli, tapi juga tidak dipungkiri, eksekusi memang tidak selalu lancar-lancar saja. Bagi saya, karya semacam ini harus cukup mampu menggugah nurani, tetapi selama melihat terpejam rasa dan suasana yang muncul adalah kegelapan, dan ini selalu saya lihat di karya-karya Megatruh sebelumnya. Bagi saya, suasana yang gelap menghasilkan efek yang justru menimbulkan kebencian, ketakutan, kesakitan, dan kritik tajam. Benci, takut, sakit, dan kritik tidak akan dengan mudah menggerakkan manusia untuk melakukan pembenahan terhadap segala sesuatu, justru kadang, rasa dan suasana semacam ini menawarkan peperangan, juga perlawanan dengan cara yang maskulin dan kurang elegan.

Maka, dengan wacana yang kuat dan pembacaan yang jeli dari sang koreografer, Megatruh, saya rasa karya Terpejam ini harus kembali dieksplorasi dengan cara mencari komposisi yang tepat demi mengajak, menyentuh dan merangkul hati penonton untuk melakukan sesuatu (baik sesuatu yang besar maupun dari hal-hal kecil) atas kejadian-kejadian buruk yang terjadi di sekeliling mereka, termasuk kaitannya dengan kritik terhadap system negara. Hal ini juga dikarenakan karya Terpejam begitu penting dalam masa-masa krisis kebhinekaan, krisis kepercayaan kepada system dan pemerintahan, juga masa perebutan yang semakin membuat masyarakat bingung bahkan terpecah seperti saat ini (tahun 2016-2017). Setidaknya karya ini harus hadir bukan untuk mengajari, tetapi seperti yang saya kemukakan sebelumnya, sebagai rangkulan, sentuhan, ajakan, dan satu lagi, sebagai pengingat dan penanda. Maka, Terpejam belum selesai!

Oleh:
Nia Agustina
Co-founder dan Program Manajer Paradance Festival


Senin, 19 Juni 2017

CATATAN: KLUB BACA ParaDancer EDISI RAMADHAN

Jadi, hari Jum'at lalu (16 Juni 2017) adalah pertemuan terakhir dari program KLUB BACA ParaDancer. Anyway buat yang belum tau apa sih KLUB BACA ParaDancer akan saya jelaskan sedikit. Jadi, KLUB BACA ParaDancer ini diinisiasi oleh tim Paradancer (link grup facebook: PARADANCER Jogja), dengan tujuan untuk mengisi wacana sebagai amunisi berkarya teman-teman penari/koreografer muda. KLUB BACA ParaDancer edisi pertama ini (dan mungkin juga edisi-edisi berikutnya) kami buat super sederhana, cuma bermodal buku/majalah/tabloid/booklet, tempatnya di rumah, dan suguhannya kita masak bersama-sama. 

Biasanya, pertemuan kita mulai dengan ngobrol-ngobrol ringan dulu, seputar aktivitas, karya yang sedang dikerjakan, atau gosip2 terbaru seputar tari di wilayah Jogja dan sekitarnya. Dengan peserta 5 orang diharapkan setiap pertemuan terjadi dengan intim, tapi tidak mengada-ada. Selanjutnya, kami baca satu artikel, essay, resume, atau teori dari buku/majalah/tabloid/booklet kemudian membahasnya bersama dan membayangkan bagaimana ketika diterapkan dalam proses berkarya masing-masing orang.


Pertemuan pertama kita membaca satu ulasan karya Teater Koma yang ditulis oleh mas Seno Joko Suyono di majalah Tempo dengan judul Julini Baru yang Asyik. Meskipun kali ini kita membaca ulasan karya teater, tetapi aspek-aspek di dalamnya sangat related dengan tari, terutama proses si Julini mengobservasi dan mengeksplorasi perannya. Hal ini membuat diskusi bergulir asik sampai pada fungsi observasi dan riset yang benar dalam membuat karya tari, hingga bagaimana proses eksplorasi dan memilih bagian mana yang akan dipakai dan tidak.

Pertemuan kedua bacaan yang dipilih adalah tulisan Ari "Inyong" untuk karyanya sendiri bersama Bengkel Mime yang mengangkat naskah "Waiting for Godot" versi pantomime. Yang menarik dan menjadi bahasan panjang adalah bagaimana proses mengkodifikasi teks menjadi mime, yang elemen utamanya adalah gerak, seperti halnya tari.

Pertemuan ketiga sangat menarik karena pembahasan yang kami ambil terkait dengan apa yang terjadi belakangan, kami membaca tulisan Abdul Munir Mulkan berjudul Pelangi di Langit Ka'bah dari buku Jalan Berlubang: Menyisir Pinggiran dan Pusaran Hubungan Indonesia-Kawasan Arab melalui Biennale Jogja XII 2013. Bahasan ini menjadi sangat reflektif karena masing-masing peserta mempunyai pengalaman yang menarik soal bahasan ini, terutama bagaimana cara pandang masing-masing orang terhadap Arab kemudian juga bahasan sampai pada isu intoleransi dan pilihan-pilihan cara beragama. Kenapa bacaan satu ini dipilih? Karena isu ini penting, entah kemudian akan dilanjutkan dalam proses berkarya atau tidak, setidaknya asupan semacam ini dengan berbagai tema sangat penting dimiliki. Yah, setidaknya biar nggak kuper.

Pertemuan keempat kita membahas teori Feminisme dari buku Cultural Studies, Chris Barker. Lagi-lagi kenapa memilih bahasan ini? Saya rasa perspektif feminis dalam berkarya itu penting, sehingga kita tidak judgmental tanpa mengetahui akar masalah. Selain itu akhir-akhir ini gender dan feminisme menjadi trend ide berkarya teman-teman koreografer muda, tetapi apakah perspektif mereka sudah clear soal itu? Atau hanya tuntutan trend dan permintaan? Wallahualam...nah ini yang mendasari kami untuk setidaknya tau dan clear soal perspektif ini.

Finally, pertemuan terakhir, kita membaca biografi tokoh tari, Gusmiati Suid dan R. Tjetje Soemantri dari buku Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi karya Prof. Dr. R. M. Soedarsono. Kenapa mereka berdua? Karena kisah mereka menjadi bagian dari tari dan membangun dunia tari cukup extraordinary dan patut dijadikan teladan. Mereka tidak mudah menyerah (tipikal calon tokoh besar), meskipun mereka tidak belajar tari secara formal di sekolah/kampus pada awalnya. 

Yah, demikian sekilas catatan  KLUB BACA ParaDancer, menarik untuk diteruskan mungkin bisa dengan format random article/bacaan semacam ini (sebanyak-banyaknya tema supaya lebih kaya), bisa juga dengan format mengupas habis 1 teori/tema dalam beberapa kali pertemuan yang ditargetkan (supaya lebih fokus). Will see... semoga kami masih memiliki energi untuk berbagi kembali dalam KLUB BACA ParaDancer season 2. :)