Rabu, 21 Maret 2018

Catatan Menonton Pertunjukan Mother Earth: PERTUNJUKAN TARI, KOLABORASI, DAN PUBLIK


Foto by: @shegitejogja
Bagian Pertama, Menggambarkan Kehamilan
Slide demi slide pra pertunjukan tayang satu persatu di atas panggung Mother Earth malam itu. Sambil menunggu penonton yang berjubel di gedung PKKH dapat menikmati karya foto yang memang digarap khusus untuk project Mother Earth oleh Rio Paraoh dari Violet Eyes Photography. Sebagai bayangan visual, di bagian belakang panggung dibentangkan kain sepanjang panggung untuk keperluan proyeksi visual baik foto, video, maupun video mapping. Seisi panggung dipenuhi dedaunan berserak.  Alih-alih menggunakan satu level panggung, tim panggung Mother Earth memilih setting panggung yang terkesan seperti tangga dengan beberapa level.
Pertunjukan akhirnya dimulai dengan diputarnya video beberapa menit karya  Yugo Risfriwan yang  tentu diharapkan menggambarkan ide Mother Earth. Dilanjutkan dua orang performer yang tidak lain adalah Mila Rosinta dan Luise Najib memasuki panggung. Mereka berjalan perlahan diikuti oleh mapping video karya Kokoksaja. Mila dari kanan panggung dan Luise dari kiri panggung, sampai mereka bertemu di tengah dan duduk kemudian menyenandungkan macapat bersama. Baik Mila dan Luise, keduanya mengenakan bantal di bagian perut sebagai kesan kehamilan, disusul 4 penari yang masuk ke panggung dengan bentuk perut besar yang sama.
Luise dan Mila menari bersama 4 penari lainnya dengan berbagai komposisi dalam beberapa bagian. Bagian 1, tentang perjuang ibu dari hamil hingga melahirkan. Di beberapa menit terakhir Luise keluar dari komposisi dan bermain-main dengan looping device di samping panggung. Suara yang dihasilkan looping device, menjadi salah satu iringan sampai lantunan piano dari Gardika Gigih masuk memenuhi ruangan. Bagian 2 menceritakan tentang keegoisan ibu yang kadang-kadang muncul sebagai bentuk kelelahan dan keinginan untuk mengejar mimpi yang lebih sulit dikejar ketika memiliki anak. Bagian terakhir adalah perasaan penyesalan si ibu atas keegoisannya, serta pesan bahwa kasih sayang ibu akan selalu mengalir. Dan keseluruhan pertunjukan diakhiri dengan apik oleh lagu Winter Fault yang dinyanyikan sekaligus diciptakan oleh Luise Najib, diiringi lantunan piano oleh Gardika Gigih.

Antusiasme Publik
Malam itu saya terburu-buru berjalan dari parkiran ke dalam gedung PKKH UGM. Dalam poster yang tersebar di berbagai media sosial dan massa, pertunjukan Mother Earth seharusnya dimulai pukul 18.30. Namun, saat saya datang pukul 19.00 antrian di meja tiket masih sangat panjang. Usut punya usut mereka adalah waiting list yang menunggu tiket tersisa, atau tiket yang tidak jadi diambil oleh si empunya. Wah, bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam gedung, jika di meja tiket saja yang mengantre sebanyak ini. Ternyata benar dugaan saya, ruang penonton full, bahkan hingga tribun lantai 2.
 Fenomena ini menjadi menarik, sementara pertunjukan tari yang lain biasanya penikmat terbanyaknya adalah sesama seniman tari, malam itu semua orang dengan berbagai latar belakang tumpah ruwah di gedung PKKH, bahkan dikabarkan mencapai 1000 penonton ditambah kurang lebih 150 waiting list. Lucunya seusai pentas, beberapa teman bertanya, bagaimana menurut saya pertunjukan Mother Earth malam ini. Terkait kualitas karya, kelebihan, kritik, dan lain-lain kita bahas nanti, tentu soal ini kita harus mengendapkan pikiran dan perasaan-perasaan yang muncul ketika menonton memilah dan memilih serta menonton referensi yang lain, baru kemudian secara dewasa dapat membicarakannya. “Namun mau tidak mau, suka tidak suka kita harus berterimakasih kepada pertunjukan Mother Earth ini,” Jawab saya kemudian.
Jawaban saya tentu berdasar, tapi apakah dasar saya kuat, silahkan dicek kembali ya...jangan terlalu gampang percaya di zaman banyak hoax macam sekarang. Dalam platform Curator Academy di Singapura, Januari 2018 lalu, saya menemukan hal terkait pentingnya imajinasi soal publik. Imajinasi soal publik ini tentu dipengaruhi banyak hal yang spektrumnya sangat luas. Misal ketika saya mendapatkan kesempatan mengobservasi TPAM (Tokyo Performing Art Meeting di Yokohama), Februari 2017, ketika ada kesempatan berdiskusi dengan sang Direktur, Hiromi Maruoka, salah satu yang ditekankan adalah bahwa memang TPAM ini bukan untuk masyarakat umum. TPAM adalah tempat bertemunya seniman dengan seniman, seniman dengan kurator, kurator dengan kurator, seniman dengan produser, produser dengan dramaturg, dan lain-lain. Segmented. Sehingga pertunjukannya cenderung diskursif.
Sebelum pertunjukan Mother Earth berlangsung, saya sempat ngobrol dengan Mila, dan Mila sendiri mengatakan bahwa pertunjukan ini dipersembahkan untuk para ibu dan supaya orang-orang dapat menghargai perjuangan ibu. Dalam pernyataan ini tentu tersirat bahwa lebih baik yang menonton pertunjukan ini publik seluas-luasnya, sehingga pertunjukan ini dapat menyampaikan pesan kepada sebanyak-banyaknya orang. Dan seperti yang saya tuliskan sebelumnya memang penontonnya sangat beragam dalam jumlah yang banyak, sehingga tentu tim produksi yang juga didukung popularitas kolaborator berhasil dalam hal ini. Kemudian, kenapa saya mengatakan harus berterimakasih kepada pertunjukan ini, karena pertunjukan ini sudah membantu kita membuka gerbang yang terkunci rapat, bahkan orang mau mengintip saja sungkan, takut nggak mudeng, apalagi kalau udah beli tiket tapi nggak mudeng sama pertunjukannya. Tentu soal hal ini, kita tidak boleh tidak mengakui harus belajar banyak dari tim Mother Earth.

Tonil Jaman Now
Foto by: @shegitejogja
Kendi Sebagai Simbol Rahim
Melihat layar putih dibentang di bagian belakang panggung sebagai ruang proyeksi digital art pendukung pertunjukan, saya tiba-tiba teringat tonil. Dari arsip.tembi.net, tonil pada intinya berupa lukisan besar latar tempat (keraton, hutan, dll) yang dapat digelar dan digulung dengan roda/roll yang dapat disusun urutannya sesuai dengan adegan yang direncanakan. Meskipun dalam pertunjukan Mother Earth kali ini proyeksi digital art tidak semata-mata sebagai latar tempat, bahkan tidak sama sekali, karena lebih ke bentuk grafis, simbol, dan interaktif. Namun seharusnya efek kehadiran digital art sudah seharusnya mendukung cerita, layaknya tonil yang memberi clue dimanakah dialog ini dilakukan, kemudian memperkuat suasana. Apakah dalam pertunjukan Mother Earth tidak terjadi demikian?
Saya menjadi teringat pertunjukan yang pernah saya lihat di kanal youtube sekitar setahun lalu berjudul HAKANAI yang dikonsep oleh Adrien Mondot (Ilmuwan komputer dan pesulap) dan Claire Bardaine (Desainer grafis dan digital scenographer) dengan penari solo Akiko Kajihara. Pertunjukan ini terjadi sekitar tahun 2014, di Montreal. Dalam pertunjukan ini terlihat Akiko menari bersama digital art dan begitupun sebaliknya digital art menari bersama Akiko. Pertunjukan lain yang dikonsep oleh Adrien Mondot dan Claire Bardaine setelahnya juga demikian, digital art yang mereka bangun tidak akan berbicara apapun jika penari tidak bergerak, begitupun sebaliknya, penari yang bergerak tidak akan berbicara apapun jika digital art dihilangkan.
Foto by @shegitejogja
Digital Art Interaktif

Pada bagian pertama adegan hamil hingga sebelum melahirkan, jika digital art dihilangkan penonton akan tetap paham bahwa ini adalah adegan perjuangan ibu hamil dan unsur dramatiknya juga tetap bisa ditangkap, namun di adegan terakhir, ketika Luise Najib menyanyikan Winter Fault memang interaksi antara digital art dan performer menjadi hidup begitupun unsur dramatiknya menjadi meningkat. Secara keseluruhan tentu kolaborasi ini sangat menarik dan cukup baru, khususnya di Jogja, meskipun seperti yang saya contohkan sebelumnya, pementasan berjudul HAKANAI pada tahun 2014 sudah menggunakan digital art.
Karena ini hal baru, khususnya di Jogja, mungkin di Indonesia pada umumnya, mungkin inilah kesempatan bagi tim Mother Earth untuk terus mengeksplorasi kolaborasi antara tari dan digital art ini, sembari melihat sebanyak-banyaknya referensi. Karena saya dengar project ini tidak hanya akan berhenti sampai pertunjukan tanggal 13 Maret 2018 lalu.

Kolaborasi  khas Jogja
Hal  lain terkait pertunjukan, saya merasa masih butuh waktu untuk belajar lebih banyak lagi sehingga tidak tumpang tindih soal selera yang sangat personal dengan fenomena yang saya hadapi. Juga soal konsep dan latar belakang karya sudah saya tuliskan sebelumnya di http://gelaran.id/mother-earth/  (monggo disimak, bagi yang ingin). Jadi untuk yang terakhir saya justru akan lebih senang untuk menyoroti proses kolaborasi yang terjadi di Mother Earth Project. Mila sendiri mengatakan bahwa semua kolaborator (Mila Rosinta x Luise najib x Gardika Gigih x Lia Pharaoh x Jenny Subagyo x Manda Baskoro x Yugo Risfriwan x Rio Pharaoh X Kokoksaja) dalam pertunjukan ini adalah sahabatnya atau teman yang pernah bekerja bersama sebelumnya. Mereka sering bertemu, ngobrol, dan bekerja bersama namun belum pernah berkarya bersama.
Dengan modal persahabatan ini, Mila berinisiatif supaya pertemanan ini bukan sekedar kesana kemari bersama, tetapi juga menjadi energi untuk berkarya bersama. Nyatanya, jika pertunjukan ini tidak menggunakan kesadaran atas pertemanan dan saling bergotong royong secara organik, berapa banyak materi yang harus dikeluarkan, misal jika semua dihitung, koreografer, penari, make up artist, desainer kostum, hair stylist, dokumentasi, visual/digital artist belum termasuk crew produksi dan stage, termasuk sponsor. Jogja memang punya kelebihan demikian, masih bisa bertemu banyak orang yang memiliki passion untuk berkarya tanpa pamrih. Istimewa. 
Seperti dalam Islam kita mengenal nasehat jika ingin soleh ya berkumpullah dengan orang soleh, ini berlaku dalam semua lini kehidupan, jika ingin terus berkarya ya berkumpullah dengan orang-orang yang punya keinginan dan passion untuk berkarya. Untuk apa? Untuk saling menguatkan, menyemangati, mendukung, membantu. Ya...di Jogja memang masih demikian. Bagaimana dengan kota-kota lain? Saya sendiri masih belum bisa memastikan sembari menganalisis pelan-pelan.

Sabtu, 13 Januari 2018

Langit dan Tanah

Bahkan burung yang selalu terbang dan bertengger di pepohonan, sesekali tetap turun ke tanah.

~Nia Agustina~

Kamis, 28 September 2017

RESIDENSI: KEBUTUHAN SAYA ATAU MASYARAKAT?

Suhu udara panas khas daerah pesisir mulai terasa ketika saya memasuki wilayah Pemenang, Lombok Utara, pertanda perjalanan baru akan dimulai.  Perjalanan ini memang bukan exactly “sebuah perjalanan”, tetapi residensi dalam rangka Bangsal Manggawe 2017 yang diinisiasi oleh teman-teman Yayasan Pasir Putih. Sebelum bertolak ke Lombok saya sempat bertemu dengan salah satu kurator, MG Pringgotono. Dalam diskusi sebelum keberangkatan, saya diberi gambaran soal wilayah dimana tempat saya tinggal selama residensi dan kemungkinan karya seperti apa yang bisa saya kerjakan bersama dengan masyarakat. Meskipun gambaran soal residensi dan kemungkinan karya yang bisa dikerjakan sudah sangat jelas, tetapi saya memilih mengosongkan gambaran-gambaran tersebut, kenapa? Karena saya percaya bahwa residensi selalu membawa seorang seniman kepada hal-hal yang totally baru, bahwa residensi adalah waktu yang tepat bagi seseorang untuk mengasah hati dan pikirannya untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan wilayah residensinya, bahwa residensi adalah waktunya seorang seniman diuji kerendah hatiannya.
Seminggu pertama saya berada di dusun Budha Tebango, Pemenang, Lombok Utara (dusun Budha dengan 100% masyarakat lokal, bukan chinesse), benar-benar saya manfaatkan untuk berkeliling saja dan berbincang dengan tokoh-tokoh Pemenang. Dari perjalanan dengan beberapa tokoh tersebut akhirnya saya memutuskan membuat 2 buah karya, Warung Dongeng dan Tari Mempolong. Warung Dongeng adalah sebuah proyek penelusuran babad 3 kampung di Pemenang, Karang Kauhan (Kampung Hindu), Karang Pangsor (Kampung Muslim), dan Tebango (Kampung Buddha). Konon 3 kampung tersebutlah yang paling memiliki pengaruh terhadap berdirinya Pemenang. Yang kedua, tari Mempolong (mempolong berarti bersaudara), tari ini diharapkan akan menjadi salah satu symbol bagi toleransi, persatuan dan kebhinekaan di Pemenang. Ya, soal karya ini tidak akan saya jelaskan panjang lebar, karena saya sendiri tidak yakin apakah karya ini benar-benar bermanfaat untuk Pemenang? Apakah setelah ini mereka akan lebih bersatu setelah mengikuti sesi Warung Dongeng dan melihat tari Mempolong? Dimana letak fungsi karya dan proses saya dalam residensi ini? Apakah masyarakat Pemenang memang membutuhkan saya dan karya saya?
Pertanyaan-pertanyaan itu juga kemudian yang mengawali refleksi saya atas perjalanan residensi ini. Saya bertahun-tahun hidup di pusat kota Jogja yang meskipun ramai dan berbudaya tetapi mulai terkesan individualis, kapitalis, dan hedonis, ditambah setahun terakhir saya hidup di kompleks perumahan yang menambah insting individualis, kapitalis, dan hedonis tumbuh dengan sangat baik. Selain berkarya, selama 3 minggu masa residensi, saya mengikuti aktivitas masyarakat Tebango, terutama ibu residen yang memberi tempat tinggal kepada saya. Sebelum aktivitas berkarya yang biasanya di sore sampai malam hari, pagi sampai siangnya saya ikut berbelanja ke pasar, berbelanja ke “warung tetangga” karena di Pemenang tidak ada minimarket franchise seperti yang bertebaran di Jogja, memasak, ngobrol dengan ibu dan tetangga, juga ikut bergotong royong membangun Vihara. Bisa dibayangkan, betapa canggungnya saya berada dalam kondisi demikian, harus beramah tamah dengan warga masyarakat, kemudian harus membeli segala sesuatunya di pasar dan “warung tetangga” yang tidak bisa asal comot barang, bayar, dan ngeloyor pergi tanpa mempedulikan penjualnya, harus ngobrol dengan warga masyarakat dan makan bersama dengan mereka selama gotong royong pembangunan VIhara. Beruntung sekali, ibu residen dan masyarakat Tebango sangat terbuka terhadap orang baru, saya merasa mendapatkan treatmen untuk mengasah kembali insting sosial, menekan keinginan hura-hura saya serta melupakan mall, Indomaret, dan Alfamart.

Hal lain, selama 2 tahun belakangan saya ikut tergabung menjadi relawan kesetaraan gender dan anti kekerasan terhadap perempuan di salah satu LSM di Jogja. Mau tidak mau untuk menunjang aktivitas tersebut, saya harus belajar soal feminisme dan terjun langsung menjadi aktivis kesetaraan, juga ikut berjuang membela hak sebagai perempuan. Terkesan heroik! Memang! Tapi itu semua seperti tidak cukup berarti ketika saya mulai ngobrol serius dengan ibu residen. Suatu hari sehabis makan, kami berbincang, ibu residen menanyakan soal pernikahan saya, dan cerita dimulai. Penasaran juga dengan kehidupan pernikahan ibu residen, saya akhirnya menagih cerita. Cerita bergulir dan jiwa aktivis saya mulai melempem. Ibu residen sama sekali belum pernah belajar feminisme dan kesetaraan gender (saya sudah mengkonfirmasi langsung kepada beliau), tetapi dari prinsip-prinsip hidupnya dia adalah salah satu sosok perempuan yang menerapkan ilmu feminis dan kesetaraan dengan sangat baik. Sedikit gambaran, ibu residen adalah seorang ibu rumah tangga biasa, punya toko kelontong di depan rumah tapi tidak terlalu serius. Dia adalah sosok yang hampir tidak punya rasa marah, tetapi jiwanya sangat kuat, sampai bapak residen mengakui bahwa kekuatan di rumah ini berasal dari ibu, bukan bapak. Dia bukannya tidak mau bekerja di luar rumah, tapi dia memilih secara sadar untuk menjadi ibu rumah tangga. Dia memiliki statement bahwa ibu adalah sosok terkuat di dalam rumah, bukan bapak. Ibulah yang menopang keluarga, bukan bapak. Bapak di dalam rumahnya hanya menopang ekonomi keluarga saja, lebih berat yang mana? Tanyanya. Dalam terminology kehidupan tidak ada bapak bumi yang ada ibu bumi. maka yang menopang bumi, yang menopang dunia adalah ibu, bukan bapak. Maka, tidak perlu menanyakan kesetaraan, kita sebagai perempuan sudah jelas-jelas memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan laki-laki dalam hal ini. Saya kembali tersadarkan, hampir dalam sebulan sekali saya melakukan fasilitasi soal kesetaraan gender di salah satu desa di Kulon Progo, Yogyakarta, tapi disana saya selalu berlaku sebagai orang yang lebih tahu soal kesetaraan dibandingkan peserta. Hari itu, di suatu dusun kecil Tebango, Pemenang, Lombok Utara, saya harus mengakui bahwa saya harus belajar lagi dari masyarakat, dan belajar menjadi rendah hati atas ilmu-ilmu yang sudah saya pelajari di masa lalu.




Belum selesai sampai disitu. Selama residensi saya sangat membutuhkan bantuan banyak pihak, mencari berbagai perlengkapan dan pergi kesana kemari. Pada awalnya tidak terbayang bagaimana saya akan pergi, bagaimana saya mencari perlengkapan untuk karya saya, dan bagaimana membawa segala sesuatu kesana kemari. Tapi tanpa saya minta semua orang di sekitar saya tinggal selama residensi, sangat membantu, di sela-sela kesibukan mereka sekolah dan beberapa bekerja, mereka meluangkan waktu untuk membantu keperluan saya. Suatu hari saya bertanya, kenapa mereka mau membantu bahkan ikut menanyakan kebutuhan-kebutuhan saya? Jawabannya beragam, tapi intinya sama, ajaran Buddha adalah cinta kasih, jadi kita harus mengasihi siapapun, menolong siapapun, berbuat baik kepada siapapun tanpa memandang dia berasal darimana. Meskipun saya sendiri sudah tahu sejak lama soal ajaran Buddha tersebut, tapi yang mengherankan adalah semua orang yang saya temui di dusun Tebango menerapkan ajaran tersebut dengan sangat baik, saya tidak melebih-lebihkan, memang semua orang disana sangat penuh cinta kasih kepada sesama, dari anak kecil hingga orang dewasa, bahkan orang tua. Ibu residen akhirnya menyempatkan untuk menunjukkan beberapa kutipan kitab yang ditulis di papan-papan dan di pasang di pepohonan sekitar vihara, beberapa tulisan disana antara lain: “Pikiran adalah pelopor, pemimpin dan pembentuk dari segala sesuatu”, “Kebahagiaan mengikuti ucapan, perbuatan, dan pikiran yang baik”, “ Bagai hujan tidak dapat menembus atap rumah baik, nafsu tidak dapat menembus pikiran yang baik”, “Sesungguhnya mereka yang bertengkar akan binasa, mereka yang sadar akan mengakhiri pertengkaran”, dan masih ada beberapa lagi yang tidak sempat saya dokumentasikan. Ajaran-ajaran Buddha seperti beberapa yang saya tuliskan memang tidak ada yang membicarakan persoalan langit, segalanya soal cara menghadapi hidup di bumi dengan baik, itulah alasan yang kemudian membuat umat Buddha lebih mudah menerapkan ajaran Buddha, tidak rumit, semuanya tentang hidup sehari-hari. Begitupun soal cinta kasih, ibu residen menjelaskan, ajaran Buddha soal cinta kasih tidak menjanjikan surga, hanya ada petunjuk jika hidup dengan cinta kasih, maka kehidupan di bumi akan lebih baik. Agama bukan sekedar jalan menuju surga, tapi agama adalah cara hidup yang baik, agama apapun, sambung ibu residen. Dari situ entah kenapa saya menjadi lebih mencintai agama saya, Islam, sembari bertanya-tanya, kenapa kecintaan saya terhadap Islam justru muncul dari perbincangan saya dengan umat Buddha?

Dari pengalaman-pengalaman itu, saya merasa karya saya tidak berarti apa-apa, selama seminggu sepulang saya dari Lombok sampai saya menulis tulisan ini, setiap hari saya merefleksikan hasil residensi saya. Ternyata sayalah yang mendapat lebih banyak pelajaran dari masyarakat, sedangkan mereka? Ya, saya lebih butuh bertemu mereka untuk memperbaiki kehidupan saya, meningkatkan sensitifitas saya, dan belum tentu mereka butuh bertemu saya dan karya saya, mungkin karya saya hanya sebuah perayaan, bukan esensi seperti selayaknya yang mereka sudah berikan kepada saya.